Menurut FDA, keju adalah produk yang
dibuat dengan cara mengkoagulasikan kasein susu, susu krim atau susu
yang kaya dengan krim. Koagulasi dapat dilakukan dengan koagulasi garam,
asam atau enzim, pemekatan atau kombinasinya (Zubaidah, 1998). Setelah
dikoagulasi, curd (padatan yang sebagian besar kandungannya
protein) yang dihasilkan diperam, ada juga jenis keju yang tidak melalui
pemeraman (Anonymous, 2003).
Jenis keju yang dihasilkan tergantung
dari bermacam-macam faktor. Menurut Kordylas (1991), faktor penting
dalam pembuatan keju adalah kandungan air dan pemeraman. Berdasarkan
pada kandungan airnya keju dibagi dua kelas yaitu keju lunak yang
mengandung 40-75% air yang mudah busuk dan keju keras yang mengandung
30-40 % air yang dapat disimpan beberapa tahun di bawah kondisi
penyimpanan yang baik
Keju merupakan salah satu bahan pangan
dengan daya simpan yang baik dan kaya akan protein, lemak, kalsium,
fosfor, riboflavin dan vitamin-vitamin lain dalam bentuk pekat (Daulay,
1991). Keunggulan nilai gizi dari keju bila dibandingkan dengan bahan
pangan lain dapat dilihat pada Tabel 3.
Kandungan Nutrien yang Terdapat dalam Keju dan Berbagai Jenis Bahan Lain per 100 gram bahan pangan
Bahan Pangan |
ProteinN x 2,26 (g) |
Lemak (g) |
Kalsium (g) |
Energi (kkal) |
KejuTelur
Daging Sapi
Kentang
Saribuah Jeruk |
26,012,3
15,8
2,1
0,8 |
33,510,3
24,3
0,1
0 |
80052
7
8
41 |
406147
283
87
35 |
Sumber : Daulay (1991)
Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang mampu
mengikat sejumlah air tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap
emulsi. Bahan pengisi merupakan fraksi yang ditambahkan dan mempunyai
sifat dapat mengikat air dan membentuk gel (Soeparno, 1998).
Soeparno (1998) menyatakan bahwa tujuan dari penambahan bahan pengisi (filler), pengikat (binder) dan pengompak (ekstender)
pada proses adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan
daya ikat air, meningkatkan flavor, mengurangi pengkerutan selama
pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk dan mengurangi biaya
formulasi. Bahan pengisi yang biasa ditambahkan pada suatu produk
adalah tepung gandum, barley, jagung atau beras, pati dari
tepung-tepungan tersebut atau dari kentang dan sirup jagung atau padatan
sirup jagung. Tepung pengisi mengandung lemak dalam jumlah yang relatif
rendah dan protein dalam jumlah yang relatif tinggi sehingga mempunyai
kapasitas mengikat air yang besar dan kemampuan emulsifikasi yang
rendah.
1 Pati Jagung (Maizena)
Pati jagung atau yang lebih dikenal
sebagai maizena adalah pati yang berasal dari sari pati jagung dengan
kandungan pati dan kandungan gluten yang tinggi (USDA, 2001). Protein
yang terdapat pada jagung sekitar 10% dan hanya mengandung sedikit
kalsium tetapi memiliki kandungan fosfor dan zat besi yang lebih banyak.
Selain itu, pada jagung juga kaya akan sumber vitamin A tetapi tidak
memiliki grup vitamin B (Marliyati, dkk, 1992).
Pembuatan pati jagung dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dengan melakukan penggilingan secara kering dan
dengan penggilingan secara basah. Pada penggilingan kering didapat
bentuk produk butir utuh, butir tidak utuh, tepung kasar dan tepung
halus. Sedang penggilingan basah didapat produk lebih beragam yaitu
tepung pati, minyak gluten, ampas dan bungkil (Anonymous, 1997)
Dalam bentuk pati jagung dapat dicampur
dengan komoditi yang lain secara mudah dan dapat bertindak sebagai
subtituen tepung lain seperti tepung terigu maupun untuk memperbaiki
nilai gizi dan mutu produk. Pati jagung pada umumnya mengandung 74 – 76%
amilopektin dan 24 – 26 % amilosa. Beberapa sifat pati jagung adalah
mempunyai rasio yang tidak manis, tidak larut pada air dingin tetapi
dalam air panas dapat membentuk gel yang bersifat kental sehingga dapat
mengatur tekstur dan sifat gelnya. Granula pati dapat dibuat membengkak
luar biasa dan tidak bisa kembali ke dalam bentuk semula dengan
memberikan pemanasan yang semakin meningkat, perubahan ini dinamakan
sebagai gelatinisasi (Kulp and Ponte, 2000).
Komposisi kimia dari Tepung maizena (Pati jagung) seperti yang tercantum pada Tabel 4.
Komposisi Kimia dari Maizena (dalam 100 g)
Komposisi |
Jumlah |
Air (g)Energi (kkal)
Protein (mg)
Total Lemak (mg)
Karbohidrat (g)
Serat Kasar (mg)
Abu (g) |
10,26362
8,12
3,59
76,89
7,3
1,13 |
Sumber : Anonymous (2006)
Granula pati jagung juga berbentuk bola (spherical), mempunyai sifat birefringence,
granula mengandung daerah kristalin dan amorphous. Sifat granula pati
jagung menghasilkan gel yang buram (tidak jernih), kohesif, mengalami sineresis
dan memiliki flavour serealia yang lembut. Pati juga tidak mudah
mengalami gelatinisasi dibandingkan dengan pati kentang atau pati
tapioka tetapi lebih tahan dan stabil terhadap tekanan dan gaya tarik.
Pati jagung dapat digunakan sebagai bahan pengisi (filler) karena sifat-sifat gelatinisasinya yang menyebakan adonan yang kokoh dan padat pada saat pencampuran (Tranggono,dkk, 2000).
2 Tepung Beras
Pati dari tepung beras berwarna putih dan
memiliki ukuran partikel yang paling kecil (2-8 μm) bila dibandingkan
dengan pati komersial lainnya. Dengan granula pati yang kecil ini maka
konsentrasi partikel dan luas permukaannya menjadi besar sehingga
kemampuannya dalam menyerap produk seperti flavor dan emulsifier menjadi
lebih besar (AB Ingredients, 2004).
Karakteristik gel dari pati tepung beras ini adalah terbentuknya gel yang lembut dan creamy mouthfeel sehingga dapat digunakan sebagai pengganti lemak dalam produk pangan (AB Ingredients, 2004).
Komposisi Kimia Tepung Beras per 100 gram Bahan
Komponen |
Nilai per 100 gram konsumsi |
AirEnergi
Protein
Total Lemak
Karbohidrat
Serat
Ampas |
11,89 g366 k kal
5,95 g
1,42 g
80,13 g
2,4 g
0,61 g |
Sumber: AB Ingredients (2004)
Bahan Tambahan
1 Cuka (Asam Asetat)
Cuka sudah dikenal orang sejak awal peradaban manusia, seperti halnya anggur. Perkataan vinegar yang merupakan nama asing dari cuka berasal dari kata vinaigre
yang berarti anggur asam. Jika anggur dibiarkan selama beberapa hari di
udara terbuka maka alkohol di dalam anggur tersebut akan mengalami
fermentasi menjadi asam cuka. Nama latin dari asam cuka adalah acetum. Dari kata acetum ini timbul turun temurunannya di dalam bahasa Inggris acetic dan di dalam bahasa Indonesia adalah asetat (Tjokroadikoesoemo, 1993).
Asam asetat merupakan asam karboksilat yang mempunyai rumus molekul CH3COOH.
Dalam bentuk murni disebut sebagai asam asetat glasial, merupakan
cairan yang tidak berwarna, dan menjadi padat pada suhu sekitar 16,60C, serta mendidih pada suhu lebih kurang 1180C.
Sedangkan sebagai larutan encer, asam asetat disebut sebagai asam cuka
yang banyak digunakan untuk keperluan rumah tangga. Menurut Medikasari
(2000), asam cuka mempunyai bau yang menyengat dan memiliki rasa asam
yang tajam sekali. Berat spesifikasi asam cuka pada 20°C adalah 1,049.
Bahan ini larut dalam air, alkohol, gliserol dan eter. Asam asetat juga
berkontribusi terhadap cita rasa makanan seperti pada mayones, acar,
saos tomat dan lain-lain. Aktivitas antimikroba asam asetat meningkat
dengan menurunnya pH.
Asam cuka merupakan koagulan (bahan
penggumpal) yang baik dalam pembuatan tahu. Asam cuka yang digunakan
dalam pembuatan tahu di Indonesia ialah asam cuka yang mengandung 4%
asam asetat, alias cuka makan (Sarwono, 2001). Menurut Kafadi (1990),
pada pembuatan tahu, bahan penggumpal yang digunakan (cuka) yang paling
tepat untuk proses produksi adalah cuka sintetis, sebab memiliki daya
reaksi kimia yang sangat tinggi dan menghasilkan tahu yang bermutu
tinggi.
Alasan utama penggunaan asam asetat
sebagai bahan pengawet adalah karena harganya murah, mudah diperoleh dan
toksisitasnya rendah. Pengaruh penghambatan terhadap mikroorganisme
semata-mata disebabkan oleh pH (Tranggono, 1990). Menurut Fennema
(1996), selain cuka (4% asam asetat) dan asam asetat, juga bisa
digunakan natrium asetat, kalium asetat, kalsium asetat dan natrium
diasetat. Asam asetat merupakan asam organik yang banyak digunakan pada
bahan makanan sebagai zat pengasam (asidulan) yaitu senyawa
kimia yang bersifat asam yang ditambahkan pada proses pengolahan makanan
dengan berbagai tujuan. Unsur yang menyebabkan rasa asam adalah ion H+ atau ion hidrogenium H3O+ (Winarno dan Rahayu, 1994).
2 Susu Skim
Susu skim adalah bagian susu yang
tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim
mengandung semua zat makanan susu, sedikit lemak dan vitamin yang larut
dalam lemak. Susu skim seringkali disebut sebagai susu bubuk tak
berlemak yang banyak mengandung protein dan kadar air sebesar 5%.
Penggunaanya dalam pengolahan pangan dapat berfungsi sebagai penstabil
emulsi, pengikat air, koagulasi, dan lain-lain. Susu kering tanpa lemak
ini mempunyai kemampuan untuk mengemulsikan lemak yang terbatas, karena
kasein yang dimilikinya berkombinasi dengan sejumlah kalsium (Ca),
sehingga tidak mudah larut dalam air. Jika sodium menggantikan sebagian
Ca, kelarutan kasein dalam air dan kapasitas emulsifikasi akan meningkat
(Soeparno, 1998). Komposisi susu skim dapat dilihat pada Tabel 6.
Komposisi Susu Skim per 100 g Bahan
Komponen |
Berat (%) |
ProteinLemak
Laktosa
Air
Abu |
35 – 370,8
49 – 52
3
7,5 – 8 |
Sumber: Soeparno (1998).
3 Dinatrium Hidroksi Phosphat (Na2HPO4)
Dinatrium hidrogen fosfat digunakan
sebagai bahan pengemulsi karena mudah didapat, tidak berbau, membentuk
tekstur yang kompak dan hemat dalam penggunaannya yaitu digunakan pada
konsentrasi 2 – 3% (Caric, 1992).
Nath (1993) menyatakan bahwa dinatrium
hidrogen fosfat merupakan jenis fosfat yang paling baik dibandingkan
bahan-bahan pengemulsi jenis fosfat yang lain. Dinatrium hidrogen fosfat
digunakan pada proses pembuatan keju olahan karena dapat membentuk
tekstur yang kompak, dapat meningkatkan kelarutan nitrogen protein.
Penambahan bahan pengemulsi dalam
pembuatan keju olahan adalah untuk memindahkan Ca dari sistem protein,
memecah protein menjadi peptide-peptida, melarutkan dan mendispersi
protein, menghidrasi dan membengkakkan protein, menstabilkan emulsi,
mengontrol dan menstabilkan pH serta membentuk struktur yang kompak
setelah pendinginan (Caric, 1992). Kelarutan kasein tersebut
meningkatkan kemampuannya untuk membentuk emulsi sehingga terbentuk
massa halus yang homogen (Kosikowski, 1994).
Nilai pH keju olahan berkisar antara 5,6 –
5,8. Nilai pH yang terlalu rendah menyebabkan keju yang lambat larut
serta tekstur kasar dan rapuh, sedangkan jika nilai pH terlalu tinggi
menyebabkan terjadinya pelelehan yang sangat cepat bersamaan dengan
keluarnya lemak secara berlebihan dan terbentuk keju seperti pudding dan
berongga (Spreer, 1998). Sedangkan menurut Kosikowski (1994), nilai pH
yang rendah menyebabkan protein keju menggumpal sehingga meningkatkan
kekenyalan keju olahan, namun pH yang terlalu tinggi akan memancarkan
protein dan menghasilkan keju yang lembek.
Bahan pengemulsi dapat dijumpai dengan pH
yang berbeda-beda. Nilai pH dinatriun hidrogen fosfat berkisar antara
8,9 – 9,1 (Caric, 1992). Disamping sifatnya sebagai bahan pengemulsi,
garam tersebut juga menstabilkan pH keju olahan dan mencegah pemisahan
air selama penyimpanan (Idris, 1995).
Menurut Septiana (1994), garam dapat
ditambahkan pada keju segar dengan cara mencelupkan keju utuh dalam
larutan garam 10%, memberi garam kering pada seluruh permukaan keju
ataupun mencampur garam kering pada gumpalan-gumpalan keju kecil sebelum
keju dipres.
4 Air
Air yang berhubungan dengan hasil-hasil
industri pengolahan pangan harus memenuhi standar mutu yang diperlukan
untuk minum. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa
metabolisme, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan
biopolimer dan sebagainya. Kandungan air dalam bahan pangan akan
berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya dan hal ini berhubungan erat
dengan daya awet bahan pangan tersebut (Purnomo, 1995).
Air digunakan dalam pembuatan keju olahan
untuk membantu proses pengolahan. Menurut Kosikowski (1994), penambahan
air dimaksudkan untuk mendapatkan kadar air keju akhir dengan
memperhatikan kehilangan air yang tertinggi, karena adanya penguapan
pada saat pemasakan. Menurut Caric (1992), jumlah air yang ditambahkan
10 sampai 25% dari berat keju, sedangkan menurut Kosikowski (1994),
jumlah air ditambahkan sebanyak 10-20% untuk mendapatkan kadar air keju
akhir.
Selain itu, air dalam produk susu juga sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme dan sebagai plasticizer
dari padatan bukan lemak susu. Keadaan fisik dan kimia dari air
seringkali dihubungkan dengan aktivitas air (Aw), dimana digunakan untuk
mengukur jumlah air yang tersedia untuk pertumbuhan berbagai macam
mikroorganisme dan stabilitas fisiko-kimia (Fox, 1997).
Proses Pembuatan Keju
Prinsip pembuatan keju adalah bahwa
protein dalam keju mengalami flokulasi dan mengikutkan 90% lemak susu
dalam pengolahan. Keju dapat dibuat dengan mengendapkan protein
menggunakan suatu asam. Asam tersebut dapat dihasilkan oleh bakteri atau
asam yang ditambahkan. Apabila menggunakan asam, dapat digunakan asam
asetat, asam laktat, asam sitrat dan dapat pula digunakan asam alami
seperti sari buah sitrun. Susu dipanaskan 80-90ºC dan asam ditambahkan
berupa tetesan sambil dilakukan pengadukan sampai massa terpisah,
setelah curd ditiriskan, dapat diproses lebih lanjut (Daulay, 1991).
Teknik dan variasi pembuatan keju dapat
dilakukan/dikembangkan menurut kreativitas yang tak terbatas. Misalnya
dengan penambahan biji-bijian, herba, minuman beralkohol, potongan
buah-buahan dan pewarna ke dalam curd. Pewarna yang digunakan biasanya adalah merah annatto. Penambahan garam ke dalam keju biasanya adalah untuk menurunkan kadar air dan sebagai pengawet (Daulay, 1991).
Di dunia terdapat beragam jenis keju.
Menurut Daulay (1991), seluruhnya memiliki prinsip dasar yang sama dalam
proses pembuatannya, yaitu:
- Pasteurisasi susu: dilakukan pada susu 70°C, untuk membunuh seluruh bakteri pathogen.
- Pengasaman susu. Tujuannya adalah agar enzim rennet dapat bekerja optimal. Pengasaman dapat dilakukan dengan penambahan lemon jus, asam tartrat, cuka, atau bakteri Streptococcus lactis. Proses fementasi oleh streptococcus lactis akan mengubah laktosa (gula susu) menjadi asam laktat sehingga derajat keasaman (pH) susu menjadi rendah dan rennet efektif bekerja.
- Penambahan enzim rennet. Rennet memiliki daya kerja yang kuat, dapat digunakan dalam konsentrasi yang kecil. Perbandingan antara rennet dan susu adalah 1:5.000. Kurang lebih 30 menit setelah penambahan rennet ke dalam susu yang asam, maka terbentuklah curd. Bila temperatur sistem dipertahankan 40 derajat celcius, akan terbentuk curd yang padat. Kemudian dilakukan pemisahan curd dari whey.
- Pematangan keju (ripening). Untuk menghasilkan keju yang
berkualitas, dilakukan proses pematangan dengan cara menyimpan keju ini
selama periode tertentu. Dalam proses ini, mikroba mengubah komposisi curd, sehingga
menghasilkan keju dengan rasa, aroma, dan tekstur yang spesifik. Hal
ini dipengaruhi oleh kondisi penyimpangan seperti temperatur dan
kelembaban udara di ruang tempat pematangan. Dalam beberapa jenis keju,
bakteri dapat mengeluarkan gelembung udara sehingga dihasilkan keju yang
berlubang-lubang.
Narasumber : Fitri Puspitasari